Catatan Penulis 2018
365 Hari di 2018
(Catatan Penuh 2018)
![]() | |
| Mahalo, Bedankt, Dhanyavaad, Efcharistó, Spasibo tebe, Xiexie, Cam On, Tack |
Menengok kembali 1 tahun di 2018, tahun ini ada 365 hari, Februari kembali cukup dengan total 28 harinya. Penuh dengan warna sudah jelas, itu yang Penulis rasakan khususnya, ada berbagai macam tantangan, peluang, dan pilihan. Itulah yang hendak dialami manusia setiap hari, bagi penulis ada saat dimana dalam kehidupan seorang berusia 22 tahun mengalami naik-turun dalam berbagai hal. Saya ingin merefleksikan 1 tahun ini dengan 1 kalimat "Siapa yang Jujur, belum tentu Nyaman. Tapi Jelas, siapa yang Bohong, tentu tidak akan Nyaman" inilah yang tengah dirasakan batin saya ketika melihat banyak fakta sepenglihatan saya terhadap yang terjadi pada apa yang terjadi. Orang jujur pasti akan dapat berkatnya, itu pribadi terhadap Pencipta-Nya, tapi belum tentu Ia nyaman terhadap dirinya untuk orang lain. Korupsi inilah yang saya lihat, para pejabat di Negeri ini seakan malu dan takut dengan rasa jujur, dengan pilihan jujur, dengan sikap jujur, bagi yang berkorupsi, malu sudah akan jadi urutan terakhir, yang menjadi fokus teratas ialah 'kebutaan' semata akan entah mungkin ketakutan miskin, ikut-ikutan, atau yang pernah terjadi karena ingin membantu yang lain agar terlihat dermawan, tapi lagi-lagi dibutakan dengan menggunakan uang rakyat.
Lalu, secara pribadi, di kampus saya mahasiswa masih enggan berdikari, bagi mereka mencontek ialah keputusan, bukan lagi pilihan. Mengapa saya berpendapat demikian? Penjaga maupun Pengajar saat ujian masih enggan menegur dan memberi sanksi tegas, padahal kami urutan 'pelajar' tingkat teratas dengan 'maha' didepannya. beberapa teman saya masih bisa di 'embel-embel' kan dengan politik praktis, yang mereka sendiri bahas saat masa politik memanas, hanya tahu sepenggal, bahkan hanya secuil dari yang mereka ketahui. Salah satu teman saya sering tiba-tiba menanyakan pilihan politik saya, sedangkan saya satu kalipun tidak pernah menanyakan apa yang ia mau (any topic), tapi ketika saya tanya ia seakan menanti jawaban yang membuat kita dapat berdebat. Tapi tunggu, saya mahasiswa, saya perempuan yang terdidik apik oleh orang tua saya, saya berdikari, saya jawab apa yang ia tanya, dan selesai sampai disitu, dan terlihat ia kecewa, karena saya tidak meladeni Ia dengan membara seperti apa yang ia mulai tanyakan. Lalu ada juga tipe teman saya, yang manis, tapi sering berspekulasi dengan yang ia pikirkan tentang pilihan politik, tentang yang saya sukai, dan tentang apapun hal dalam diri saya yang belum pernah saya tunjukkan secara gamblang. Saya sekali lagi bermain dalam tiap permainan, saya tidak termakan dengan 'pencobaan' mereka, karena saya tahu, ada porsi dari tiap permainan, saya memainkan porsi saya.
Hal lain yang saya jalani sepanjang 2018 ini ialah kedewasaan yang dibentuk dari konflik Keluarga. Keluarga adalah refleksi tumbuh dari seorang ke fase kehidupan seorang kedepan, keluarga bisa jadi contoh paling konkrit dalam melatih kita menghadapi problem yang kecil-besar, berat-ringan, rumit-mudah. Sekalipun memiliki keluarga harmonis bagi kalian, tentu akan ada kerikil satu-satu yang akan menumpuh tumit kalian untuk diinjak, dan diperhalus, agar menjadi debu dan pelajaran untuk kita semakin menjadi baik. Jika anda belum menjadi baik, percayalah, itu semua bentukan waktu yang akan menghaluskan untuk menjadikan itu semua debu yang akan terbang oleh angin, dan melancarkan langkah kita. Karena itu, secara pribadi saya tidak bisa menuliskan problem yang saya maksud, tapi, satu yang saya yakini "Keluarga itu selalu jadi benteng terakhir dimana kita berperang melawan isi dunia".
Pada 2018 ini, banyak artis yang pergi meninggalkan dunia ke-artisan-nya karena penyakit, dan bunuh diri ataupun bencana. Aretha Franklin, Queen of Souls meninggal akibat penyakit yang ia derita. Mac Miller, salah satu rapper Muda yang memutuskan bunuh diri akibat Depresi berat. Terakhir dari bencana Tsunami Selat Sunda, hampir semua anggota Band Seventeen meninggal akibat Tsunami yang setidaknya telah menghilangkan nyawa 200-an orang. Kita semua tahu, baik kepergian bunuh diri, penyakit, dan bencana akan meninggalkan isak tangis mendalam, yang perlu kita rangkul ialah artist lainnya untuk tetap kuat dan terus berkarya apapun terjadi dengan peduli dengan kondisi tubuh mereka. Terlebih artist-artist yang pergi karena keputusan bunuh diri, kita semua harus tahu bahaya 'depresi' itu memberikan beban dan luka terdalam terhadap seorang yang mengalaminya, kita harus bangkit, menguatkan satu sama lain, merangkul satu sama lain tanpa memikirkan apa yang tetap menjadi keputusan seorang kelak. Begitu juga dengan korban trauma bencana alam mematikan yang kehilangan, mereka semua patut untuk disayang dan dirangkul dukanya, agar mereka bisa selalu menjadi inspirasi dan penguat bagi banyak orang yang mengalami hal demikian.
Hal lain yang saya refleksikan 2018 ini, betapa rejeki prestasi berada di tangan Indonesia. Asian Games, diplomasi sehat gaya pemerintahan negara manapun sejak dulu hingga kini dalam merangkul kerja sama, sportivitas, dan kejujuran merupakan tonggak baru sejarah. 1962, terakhir kali Asian Games di gelar di Indonesia, 56 tahun lalu harus banyaklah perubahan yang terjadi, dan nyatanya demikian. Dari bangunan, sikap pemerintahan, energi para atlet-pelaih-pemerintah-kementerian-masyarakatnya. Semua terlihat bersinergi, sama seperti tagline Asian Games "energi of Asia". Tidak mudah menyerah ialah wajah Asia, penduduk benua terbanyak, salah satu benua yang banyak melahirkan genius yang berkarisma, gudangnya prestasi dimata dunia, pusatnya ukuran bagi kemajuan global. Asia itulah yang membuat kita harus bangsa, Indonesia menjadi tuan rumah bagi Asian Games dan Para Asian Games yang diakui dan sukses di mata dunia, semua jadi sorotan. Rangkulan, kantong mendali, dan ragamnya identitas bangsa di berbagai negeri dalam menyambut Asian dan Para Asian Games patutlah diakui. Itu semua bukan gimmick, tetapi real adanya. Maka dari itu, terharu membuat saya menutup refleksi mengenai Asian Games.
Politik. Tentu menjadi topik yang paling diminati sepanjang 2018 dan tentunya hingga 2019 mendatang. Pemimpin baru lahir. Ingatkah wali kota Bandung yang kini menjadi Gubernur seluruh Jawa Barat? Tidakkah Ia termasuk contoh pemimpin hebat yang naik tangga dengan hati-hati, satu per satu. Politik jadi headline di berbagai pembicaraan di lini kehidupan masyarakat, setidaknya sejak 1966 yang saya perhatikan menurut kaca mata saya, sejak perpindahan kepemimpinan, Indonesia seakan dibawa ke ranah politik serius yang harus diperhatikan secara seksama antara anggota masyarakat satu dengan yang lain. Bukan tanpa alasan saya mengatakan demikian, sejak masa pra-Kemerdekaan jiwa perpolitikan masyarakat Indonesia hanya sebatas pada cita-cita, lalu sejak 1966 menjadi 'goal' dalam mencapai apa yang dimaui orang-orang yang terjun dalam politik, sehingga masyarakat seakan melirik politik tidak hanya sekali tetapi 2 hingga 3 kali untuk meyakini. Dan lebih bergaung pada 1998, ketika 32 tahun dibungkam oleh pemimpin yang saat ini tertinggal turunan garis ke-2 yang seakan ingin kembali rakus menjadi pemimpin abal-abal. Dan tidak menyadari kemampuan mereka, hanya sebatas rakyat, bukan pemimpin apalagi pelayan rakyat. Tahukah kamu siapa yang saya maksud? Tentu saya yakin kalian tahu. Politik jadi pakaian sehari-hari elit, jadi suplemen yang rutin yang harus dikonsumsi dalam menerima berbagai kritik, masukan, pemberitaan para elit. Politik Indonesia haruslah berubah, berubah ke arah yang lebih baik, berubah lebih demokratis, berubah lebih demokratis yang etis, berubah demokratis yang etis dengan dasar UUD dan Pancasila seperti apa yang di cita-citakan moyang dan pejuang. Jangan katakan perjuangan elit dulu tidak terlalu berdampak, jika era pra-kemerdekaan 'Elit' bungkam dan bersikap dingin, tentu kita tidak sampai disini.
Adakah hal yang penulis lewatkan? Mengenai penyakit, kesehatan, di beberapa belahan dunia, kekhawatiran akan penyakit virus yang menyerang kesehatan anak-anak yang lebih para dari virus "Polio" membuat ketakutan para warga masyarakat dunia. Hal ini tentu menjadi bayang-bayang Indonesia untuk menjaga kesehatan penerus bangsa, karena virus ini lebih banyak menyerang kelompok masyarakat 5 tahun ke bawah. Tetapi jika dilihat dari statistik berbagai badan kesehatan, kesehatan warga Indonesia terbilang ambang baik, walau hal ini masih menjadi perhatian jika tidak di fokuskan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia sendiri.
Walalu masih banyak yang perlu saya refleksikan dalam mengingat 2018 yang akan berganti oleh 2019, hal terakhir yang saya refleksikan sebagai catatan penuh 2018 ialah fokus terhadap Lingkungan Hidup. Saya memang segelintir kecil orang yang memberikan perhatian pada tempat yang saya tinggali. Sudah banyak, pemberitaan mahkluk hidup lain baik di laut, hutan, bahkan di udara dan wilayah es yang harus mati karena kita! Karena saya dan kamu! Sampah dan ketidakpedulian serta egoisitas yang selalu kita nomor satukan menjadi kesedihan mahkluk ciptaan Tuhan lain bersedih, tersiksa, dan terluka. Bagaimana bisa, burung yang terbang di udara bisa terlilit oleh gulungan kantong plastik? Dan bisakah akal kita berkata kita 'salah' ketika se-ekor paus harus berjuang hidup dan berakhir dengan tragis karena sampah yang harus ia konsumsi di lepas laut yang luas? Tahukah kamu, wilayah air lebih luas dari pada darat, seharusnya manusia takut dan menjaga tempat ia berpijak dengan menhindari kebiasaan buruk dan egoisnya, dengan menjadi mahkluk yang 'tepat' dengan sebutannya 'mahkluk berakal' yang paling tinggi di antara mahkluk lain, dan tidak menjadi lebih sombong dengan merusak alam. Alam memproses sendiri toxin yang ia serap, tetapi alam akan kebingungan jika manusia melakukan kehendak itu. Contohnya menebang pohon, membangun tembang minyak di tengah laut (ketika bocor, hanya bersikap apatasi, tanpa sikap serius yang nyata!), membakar hutan dengan alih-alih membuat tempat tinggal dan bla bla bla, membuang sampah (tanpa sadar, kita ini sampah di antara mahkluk ciptaan lain). KIta harus menyadari, kerusakan alam saat ini sangat parah dan lebih banyak di akibatkan karena ulah manusia. Longsor dan Gempa bumi merupakan situasi alam yang berbeda satu karena manusia, dan gempa bumi karena proses alam yang menebang apa yang menjadi kehendaknya. Itulah perlu kita ketahui. ALAM tidak butuh MANUSIA, tapi MANUSIA lah yang membutuhkan ALAM. Maknai kalimat ini, jika tidak saat ini, hari ini, detik ini kita tidak memberi kepedulian pada kondisi lingkungan hidup, dan alam sekitar kita, percayalah, Alam membentuk sendiri perlindungannya dengan caranya sendiri, dan kita manusia tidak perlu merasa semua bencana alam, dan teguran Tuhan, itu semua sejalan. Teguran Tuhan tidak pernah bisa kita selami, tugas kita terhadap ciptaan yang lain ialah menjaga 'keseimbangan'.
Terima kasih 2018 telah menjadi bagian paling berat, krusial, dan menakjubkan yang pernah saya naiki, dalam wahana kehidupan secara pribadi. Ada refleksi 2018 yang saya lewati, mohon maaf. Sampai jumpa di 2019, saya harap damai dan kebahagiaan menyertai kita, serta komitmen dalam menjaga kerukunan dan balencing life antara pribadi dan alam bisa segera kita sadari. Hidup itu tidak mudah, saya melihatnya itu, tidak ada hidup yang mudah, tapi jika kita melewati dengan 'doa' dan 'kerja keras yang jujur' yakinlah, yang tidak mudah itu mendapat bantuan dari sudut manapun, dan kita menemukan kemudahan dari sang maha kuasa. Selamat menikmati detik-detik 2018 menuju 2019.
![]() |
| Arigatou, Mauliate, Merci, Gratias, Obrigado, Thank's, Danke u, Terima Kasih |
salam saya
Corani




Komentar
Posting Komentar